Rabu, 25 Desember 2013

PEMBUKTIAN DALAM PENGADILAN AGAMA

PEMBUKTIAN DALAM PENGADILAN AGAMA


Pengertian
Pembuktian adalah suatu upaya dari para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim (R. Subekti).
Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang (Abdul Manan).

Tujuan pembuktian
Untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar terjadi, yang dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.

Teori Pembuktian
a.     Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim.
b.     Teori Pembuktian Negatif
Dimana hakim terikat dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat negatif sehingga membatasi hakim untuk melakukan sesuatu, kecuali yang diizinkan oleh udang-undang.
c.     Teori Pembuktian Positif
Dimana hakim diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang dalam Undang-Undang.

Pihak yang diwajibkan melakukan pembuktian adalah para pihak yang berkepentingan. Para pihak yang wajib mengajukan alat-alat bukti.
Pasal 163 HIR/pasal 283 R.Bg dan pasal 1865 BW, menyatakan bahwa barang-siapa yang :
  •   Mengaku mempunyai suatu hak, atau
  •   Mengemukakan suatu peristiwa (keadaan) untuk menguatkan haknya, atau
  •   Membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

Penilaian pembuktian
Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa adalah hakim yang memeriksa duduknya perkara (judex facti) yaitu hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding.

Yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam pemeriksaan perkara perdata, ada beberapa yang menurut hukum pembuktian dalam acara perdata tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim, yaitu:
1.   Dalam hal dijatuhkan putusan verstek, yaitu karena tergugat tidak hadir dan dalil penggugat tidak dibantah, kecuali dalam perkara perceraian, dimana hakim harus membuktikan dalil-dalil gugatan (alasan-alasan), sesuai dengan hukum acara Islam.
2.      Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat, kecuali dalam perkara perceraian.
3.      Dalam hal telah dilalukan sumpah decisoir
4.      Dalam hal bantahan pihak lawan kurang cukup
5.      Dalam hal peristiwa natoir (peristiwa yang diketahui umum)
6.      dalam hal yang terjadi di dalam persidangan dan diketahui hakim
7.      dalam hal yang termasuk dalam pengetahuan tentang pengalaman
8.      dalam hal yang bersifat negatif (negatifa non sunt probanda).

Alat-alat Bukti
Alat-alat bukti dalam perkara perdata ialah:
1.      Alat bukti surat
2.      Alat bukti saksi
3.      Alat bukti persangkaan                        Pasal 164 HIR
4.      Alat bukti pengakuan
5.      Alat bukti sumpah
6.      Pemeriksaaan ditempat (pasal 153 HIR)
7.      Saksi ahli (pasal 154 HIR)
8.      Pembukuan (pasal 167 HIR)
9.      Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No.14/1985)

1)      Bukti surat
            Alat bukti tertulis atau surat ialah segala yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian (alat bukti).

2)      Alat bukti saksi
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam pasal 168-172 HIR.

3)      Alat bukti persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim. Persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW.

4)      Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) ialah pernyataa seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. diatu dalam pasal 174, 175, 176 HIR, 311, 312, 31 R,Bg, dan pasal 1923-1928 BW.

5)      Alat bukti sumpah
Sumpah ialah suatu pernyataan yang hidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.
Ada 2 macam sumpah:
1)      Sumpah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir.
2)      Sumpah atau janji untuk memeberikan keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu benar demikian atau tidak benar, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir.

6)      Pemeriksaan di tempat (descente)
Pemeriksaan setempat (descente) ialah pemeriksaan mengenai perkara, oleh hakim karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan, agar hakim melihat sendiri gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.

7)      Keterangan saksi ahli (expertise)
Adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif yang bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim sendiri.

8)      Alat bukti pembukuan
·            Pasal 167 HIR pasal  296 R.Bg menyatakan bahwa Hakim bebas memberikan kekuatan pembuktian untuk keuntungan seorang kepada pembukuannya yang dalam hal khusus dipandang patut.
·        Alat bukti pembukuan ini dalam bidang keperdataan dan hukum dagang.
Contoh :
“Seorang penggugat menggugat kepada lawan (tergugat) untuk melunasi hutangnya, kemudian tergugat menyatakan bahwa hutangnya sudah lunas, lalu peggugat menunjukkan pembukuan debit-kredit terhadap tergugat di mana ada pengeluaran pinjaman”.

9)      Pengetahuan Hakim
Hakim sebagai organ Pengadilan dianggap mengetahui hukum. Pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung-jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa. diri sendiri, masyarakat Bangsa dan Negara (lihat pasal 14 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Macam – macam Kekuatan Alat Bukti
    Tiap-tiap alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian tersendiri menurut hukum pembuktian. macam-macam kekuatan pembuktian tersebut adalah:
1.      Bukti mengikat dan menentukan, artinya:
·         Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi Hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan alat bukti tersebut tanpa membutuhkan alat bukti lainnya.
·         Hakim terikat dengan alat bukti tersebut, sehingga tidak dapat memutus lain dari pada yang telah terbukti dengan satu alat bukti itu.
·         Alat bukti ini tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan/bukti sebaliknya.

Alat bukti ini adalah:
a.       Sumpah decisoir (pasal 156 HIR/pasal 183 R.Bg)
b.      Sumpah pihak (dilator) = (pasal 177 HIR/pasal 183 R.Bg)
c.       Pengakuan (pasal 174 HIR/pasal 311 R.Bg)

2.      Bukti sempurna, artinya :
·           Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi Hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan alat bukti itu dan tidak memerlukan adanya alat bukti lain.
·         Hakim terikat dengan alat bukti tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.
·         Bukti tersebut dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan/sebaliknya.

Alat bukti ini adalah :
a.       Akta otentik (pasal 165 HIR/pasal 285 R.Bg)
b.    Pasal 1394 KUH Perdata: Apabila tergugat dapat menunjukkan tiga kwitansi pembayaran 3 (tiga)    bulan berturut-turut, maka angsuran yang sebelumnya harus dianggap lunas.
c.  Pasal 1965 KUH Perdata: Itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjukkan kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya.

3.      Bukti bebas, artinya:
·                   Hakim bebas untuk menilai sesuai dengan pertimbangan yang logis.
·         Hakim tidak terikat dengan alat bukti tersebut.
·         Terserah kepada keyakinan hakim yang menilai.
·         Hakim dapat mengesampingkan alat bukti ini dengan pertimbangan yang logis.
·         Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.

Alat bukti ini adalah:
a.    Saksi yang disumpah (pasal 172 HIR/pasal 307 R.Bg). meskipun ada 10 orang saksi, kalau hakim ragu-ragu maka hakim tidak terkait atau wajib mempercayai saksi-saksi itu.
b.      Saksi ahli (pasal 154 HIR/pasal 181 R.Bg)
c.       Pengakuan diluar sidang (pasal 175 HIR/pasal 312 R.Bg)

4.      Bukti permulaan, artinya:
·           Meskipun alat bukti itu sah dan dapat dipercaya kebenarannya, tetapi belum mencukupi syarat  formil sebagai alat bukti yang cukup.
·         Bukti ini masih perlu (harus) ditambah dengan alat bukti lain agar menjadi sempurna.
·         Hakim bebas dan tidak terikat dengan alat bukti ini.
·         Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.

Alat bukti ini adalah:
a.     Alat bukti saksi tetapi hanya seorang diri (pasal 136 HIR/pasal 306 R.Bg) sehingga harus ditambah dengan alat bukti lain, misalnya sumpah suppletoir.
b.      Akta dibawah tangan yang dipungkiri tanda tangannya dan isinya oleh yang bersangkutan (pasal 165 HIR/pasal 289 R.Bg).

5.      Bukti bukan bukti, artinya:
·         Meskipun nampaknya memberikan keterangan yang mendukung kebenaran suatu peristiwa tetapi ia tidak memenuhi syarat formal sebagai alat bukti sah.
·         Ia tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
·         Ia seperti bukti tetapi bukan bukti.

Hal ini adalah:
a.       Saksi yang tidak disumpah (pasal 145 (4) HIR/pasal 172 R.Bg)
b.      Saksi yang belum cukup umur15 tahun
c.       Foto-foto, rekaman casset/video dan sebagainya
d.      Kesaksian tak langsung (pasal 717 HIR/pasal 308 R.Bg ).

SUMBER DARI: BUKU DARAS UIN JAKARTA OLEH KAMARUSDIANA

Minggu, 10 November 2013

Teknik Penulisan Putusan PA



TEKNIK PENULISAN PUTUSAN PA
leh Firdaus Muhammad Arwan

I.     PENGANTAR

Dalam praktik banyak dijumpai berbagai bentuk ketikan putusan yang berbeda-beda, bukan saja terjadi antara pengadilan yang satu dengan pengadilan yang lain, tetapi di pengadilan yang samapun terjadi perbedaan, bahkan putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang sama ketikannya bisa berbeda. Perbedaan pengetikan ini disebabkan tidak adanya pedoman yang dibakukan pasca komputerisasi. Dahulu pernah ada pedoman pengetikan putusan, akan tetapi pedoman tersebut masih mengacu kepada cara pengetikan dengan menggunakan mesin ketik konvensional sehingga sejak era komputerisasi pedoman tersebut sudah ditinggalkan.
Bervariasinya ketikan putusan itu terjadi dalam banyak hal, antara lain format ketikan, jenis dan ukuran huruf, jarak spasi, jarak margin dan lain-lain. Yang agak memprihatinkan adalah pengetikan itu sudah tidak lagi mengindahkan kaidah-kaidah penulisan yang benar. Meskipun kesalahan penulisan atau berbeda-bedanya cara pengetikan itu tidak mengurangi kualitas dan sahnya sebuah putusan, akan tetapi akan lebih indah apabila putusan itu dituangkan dalam ketikan yang rapih dan seragam. Oleh sebab itu sangat baik apabila ada pedoman pengetikan putusan yang dibakukan. Melalui tulisan ini penulis menyampaikan sumbangsih tentang tata cara pengetikan putusan yang barangkali ada manfaatnya.

II.     TEKNIK PENGETIKAN PUTUSAN
A.    SISTIMATIKA PUTUSAN :
1.      Kepala Putusan (Irah-irah) terdiri dari:
a.       Kata putusan,
b.      Nomor putusan,
c.       Kalimat Bismillahirrahmanirrahim (khusus peradilan agama), dan
d.      Kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

2.      Konsideran Putusan terdiri dari:
a.       Pernyataan Pengadilan tertentu (PA X) yang mengadili perkara,
b.      Identitas para pihak,
c.       Pernyataan telah membaca berkas perkara, dan
d.      Pernyataan telah mendengar keterangan para pihak dan saksi


3.      Isi Putusan terdiri dari:
a.       Duduk Perkara,
b.      Pertimbangan Hukum, dan
c.       Amar putusan

4.      Penutup Putusan terdiri dari:
a.       Pernyataan hakim tentang hari tanggal memutus perkara,
b.      Nama Hakim dan kedudukannya serta nama Panitera Pengganti,
c.       Waktu, oleh siapa dan dalam keadaan bagaimana putusan diucapan (misalnya, pada hari itu juga diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri …..dst)

5.      Kaki Putusan terdiri dari:
a.       Nama, tandatangan dan kedudukan hakim dalam majelis serta nama dan tandatangan Panitera Pengganti,
b.      Rincian biaya perkara

B.     FORMAT KETIKAN

1.      Ukuran Kertas: HVS diatur kembali dengan lebar 8,5 inc dan panjang 13 inci, atau lebar 21,59 cm dan panjang 33 cm.

2.      Jarak Margin
a.       Atas     : 4 cm
b.      Kanan : 2 cm
c.       Bawah : 3 cm
d.      Kiri      : 4 cm

3.      Huruf
a.       Jenis    : Times New Roman
b.      Ukuran            : font 12

4.      Program     : Microsoft Word



C.     TATA CARA PENGETIKAN

1.      Ketentuan Umum:
a.       Semua penulisan berpedoman kepada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) kecuali yang secara khusus diatur tersendiri;
b.      Jarak dari baris satu ke baris berikutnya 2 spasi, kecuali :
*  antara kalimat DEMI KEADILAN dengan alinea berikutnya berjarak 4 spasi
* antara nama Panitera Pengganti pada kaki putusan dengan rincian biaya perkara berjarak 4 spasi
*  antara kalimat MELAWAN dengan alinea sebelum dan sesudahnya berjarak 2,5 spasi
*  antara kalimat TENTANG DUDUK PERKARANYA dengan alinea sebelum dan sesudahnya berjarak 2,5 spasi
*  antara kalimat TENTANG PERIMBANGAN HUKUMNYA dengan alinea sebelum dan sesudahnya berjarak 2,5 spasi
*  antara kalimat MENGADILI dengan alinea sebelum dan sesudahnya berjarak 2,5 spasi
c.       Jumlah baris tiap halaman tidak melebihi 30 baris;
d.      Setiap halaman diberi keterangan tentang halaman ke berapa dari jumlah halaman seluruhnya ditambah dengan kalimat yang menunjuk kepada nomor perkara dan diketik disebelah kanan bawah menggunakan footer dengan ukuran huruf 11.

Contoh :
Hal.1 dari 30 hal. Put. No. 24/Pdt.G.2010/PA.Jb.
e.          Setiap alinea baru diketik masuk ke dalam dengan inden line 0,5

Contoh:
Menimbang, bahwa ……….dst

f.          Kata atau kalimat berikut ini diketik di bagian tengah halaman (center):
*  PUTUSAN,
*  NOMOR. Perkara,
*  BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM,
*  DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,
*  MELAWAN,
*  TENTANG DUDUK PERKARANYA,
*  TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA, dan
MENGADILI.

g.      Setiap akhir alinea ditutup dengan titik koma (;) tanpa garis penghubung putus putus memanjang sampai tepi halaman.
Contoh :
Menimbang, bahwa berdasarkan…dst., maka terbukti Penggugat telah berlaku nusyuz;

Tidak diketik seperti ini
Menimbang, bahwa berdasarkan…dst., maka terbukti Penggugat telah berlaku nusyuz;-----------------------------------------------------------------------

h.      Penulisan amar:
§  Untuk putusan PA menggunakan nomor urut angka arab (1,2,3 dst). Ini dimaksudkan untuk memudahkan melakukan kontrol apabila jumlah atau jenis amarnya banyak supaya tidak ada yang ketinggalan (cukup dengan melihat nomor terakhir).

Contoh:
1.        Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
2.        Menyatakan harta berikut ini sebagai harta bersama antara Penggugat  dengan Tergugat
3.        dst
                              
*  Untuk putusan PTA menggunakan garis penghubung ( - ). Contoh:

                             -  Menyatakan permohonan banding Pembanding dapat diterima
                                                -  Menguatkan putusan PA…..dst
                                                -  Menghukum Pembanding untuk membayar biaya perkara ….dst


i.        Apabila dalam satu amar terdapat sub dari amar tersebut, maka setiap sub amar diberi sub nomor misalnya,
4. Menyatakan harta berikut ini merupakan harta warisan ABU BAKAR AL MUNAWWAR:
4.1      Sebidang tanah….dst;
4.2      Sebidang tanah….dst;
4.3      Satu unit mobil…. dst.
4.4      Satu unit mobil…. dst.
4.5      dst.

j.        Rincian biaya perkara diketik dengan jarak 1,5 spasi antara masing-masing item, diketik pada bagian kiri bawah setelah nama Panitera Pengganti dengan jarak 4 spasi antara nama Panitera Pengganti dengan rincian biaya perkara;
k.      Setiap putusan dibubuhi materai Rp.6000,- yang dilekatkan pada bagian kiri tanda tangan Ketua Majelis dengan diberi tanggal sesuai dengan tanggal pengucapan putusan dan tanda tangan Ketua Majelis sebagian mengenai permukaan materai.

2.      Ketentuan Khusus:
a.       Kata atau kalimat di bawah ini ditulis dengan huruf kapital dan ditulis tebal:
1)      P U T U S A N; tidak diberi garis bawah dan antara huruf satu dengan huruf lainnya diberi jarak satu tuts
2)      NOMOR; (Nomor Perkara)
3)      BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM;
4)      DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;
5)      Nama para pihak. Misalnya, ABDUL WAHAB bin ABDUL HAKIM,
6)      MELAWAN;
7)      TENTANG DUDUK PERKARANYA;
8)      TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA;
9)      M E N G A D I L I; antara huruf satu dengan huruf lainnya diberi jarak satu tuts.
b.    Kata atau kalimat di bawah ini ditulis dengan huruf kapital tidak tebal
*  DALAM EKSEPSI,
*  DALAM POKOK PERKARA,
*  DALAM KONVENSI,
*  DALAM REKONVENSI,
*  DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI;
*  Nama-nama Hakim dan Panitera Pengganti pada bagian penutup putusan;
*  Kalimat KETUA MAJELIS, HAKIM ANGGOTA dan PANITERA PENGGANTI serta nama masing-masing mereka yang ada pada kaki putusan.
c.    Nama para pihak, diketik dari tepi kiri masuk dengan inden line 0,5 dan identitas lainnya ditulis berlanjut sebaris dengan nama para pihak, namun baris berikutnya diketik masuk ke dalam dari tepi kiri dengan inden line 2.
Contoh:
HADI PURWANTO bin ABDURRAHMAN, umur 24 tahun, agama Islam, pekerjaan Guru SMA, bertempat tinggal di Jl. Sultan Abdurrahaman No. 12 …………………….dst

d.   Bagian penutup putusan (kalimat: Demikian diputuskan ….dst) tidak terpisah dari nama dan tanda tangan majleis hakim, paling sedikit 3 baris.
e.    Penulisan nama dan kedudukan Hakim serta Panitera Pengganti pada kaki putusan ditulis dengan format sebagai berikut:

HAKIM ANGGOTA                                     KETUA MAJELIS
                         
1. DRS. H. ABU BAKAR, S.H., M.H.         DRS. H. ABU MUSA, S.H., H.M.

2. DRS. H. ABU DZAR, S.H., M.H.

PANITERA PENGGANTI

 DRS. ABU YA’LA, S.H.
f.     Apabila nama Ketua Majelis panjang sehingga tidak memungkinkan ditulis dengan format di atas, maka penulisannya dapat dilakukan sebagai berikut:

KETUA MAJELIS

PROF. DR. H. ABDUL HAKIM MANSYUR ALKINDY, S.H., H.M.


HAKIM ANGGOTA

DRS. H. ABU BAKAR, S.H., M.H.                         DRS. H. ABU MUSA, S.H., H.M.

      PANITERA PENGGANTI

       DRS. ABU YA’LA, S.H.

g.      Apabila nama ketua majelis dan hakim anggotanyapun panjang sehingga tidak memungkinkan ditulis dengan format e atau f, maka penulisannya dapat dilakukan sebagai berikut:

KETUA MAJELIS
PROF. DR. H. ABDUL HAKIM MANSYUR ALKINDY, S.H., H.M.

HAKIM ANGGOTA:
1.      DRS. H. ABU BAKAR BASALAMAH ALKADRIE, S.H., M.H.
2.      DRS. H. ABU MUSA, S.H., H.M.

PANITERA PENGGANTI

DRS. ABU YA’LA, S.H.