Kamis, 16 April 2015

PERIKATAN ATAU PERJANJIAN (Perbandingan Hukum Perdata)



PERBANDINGAN HUKUM PERDATA
PERIKATAN ATAU PERJANJIAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam bidang hukum perdata, hukum perikatan merupakan salah satu hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam hubungan-hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang dilakukan sehari-hari.
Hukum Perikatan diatur dalam Buku III BW (Buku III KUH Perdata) yang secara garis besar dibagi atas dua bagian, yaitu pertama, perikatan pada umumnya, baik yang lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari undang-undang dan yang kedua, adalah perikatan yang lahir dari perjanjian-perjanjian tertentu.
Ketentuan tentang perikatan pada umumnya ini berlaku juga terhadap perikatan yang lahir dari perjanjian tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain. Akan tetapi dalam pembahasan mengenai tentang perikatan, disini dijelaskan tidak hanya berdasarkan KUH Perdata saja, tapi dibahas juga mengenai perikatan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi syariah. Jadi nanti bisa mengetahui perbandingan-perbandingan yang terdapat didalam kedua sumber hukum tersebut tentang perikatan.
B.    Tujuan
1.     Untuk mengetahui dan menganalisis tentang perikatan baik menurut KUH Perdata dan KHES;
2.     Agar dapat mengetahui perbandingan-perbandingan apa saja yang terdapat didalam KUH Perdata dan KHES;
3.     Bisa memahami dan menerapkan di dalam ranah hukum sesuai berdasarkan ketentuan yang berlaku.
C.    Rumusan Masalah
1.     Apa yang dimaksud dengan perikatan dan bagian-bagian yang terdapat di dalamnya menurut KUH Perdata dan KHES ?
2.     Bagaimana penjelasan mengenai perikatan baik menurut KUH Perdata dan KHES ?
3.     Adakah letak Perbandingan yang spesifik tentang perikatan yang terdapat didalam KUH Perdata dan KHES ?

BAB II
PEMBAHASAN
PERIKATAN ATAU PERJANJIAN
A.    Pengertian Perikatan
1.     Menurut Hukum Perdata (BW)
Secara etimologi Undang-Undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud daripada perikatan. Begitu pula Code Civil Perancis maupun Borgelijk Wetboek (BW) Belanda yang merupakan concodantie BW kita. Secara etimologi perikatan (Verbintenis) berasal dari kata kerja “verbinden” yang artinya mengikat (ikatan atau hubungan). Verbintenis bisa disebut dengan istilah perikatan, perutangan, atau perjanjian. Perikatan bisa diartikan juga setuju atau sepakat, dari arti kata overeenkomen.
Yang dimaksud dengan Perikatan secara terminologi ialah hubungan hukum yang terletak dalam lapangan harta kekayaan yang terjadi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak berhak atas prestasi dan pihak lainnya berkewajiban menyerahkan prestasi.
Pihak yang berhak atas prestasi disebut sebagai kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban menyerahkan prestasi disebut debitur. Dengan demikian yang menjadi obyek dari perikatan ialah prestasi dan yang menjadi subyek ialah kreditur dan debitur.[1]

2.     Menurut Hukum Islam (KHES)
Menurut KHES dalam pasal 20 ayat 1 yang dimaksud dengan Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Menurut hukum Islam perikatan adalah segala aturan hukum Islam yang terkait dengan hubungan antar manusia (hablum minannas) yang membahas persoalan dengan harta benda (maal) dan hal-hal yang terkait dengannnya.[2]

B.    Syarat  Perikatan/Perjanjian
1.     Menurut BW dalam Pasal 1320 sebagai berikut:

a.      Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
b.     Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c.      Suatu pokok personalan tertentu;
d.     Suatu sebab yang tidak terlarang.
Pasal 1320 ini merupakan pasal yang sangat popular karena menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu sendri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat objektif.
Kesepakatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis.
Sementara itu, kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun. Walaupun ukuran kecakapan didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah menikah, tidak semua orang yang mencapai usia 21 tahun dan telah menikah secara otomatis dapat dikatakan cakap menurut hukum karena ada kemungkinan orang yang telah mencapai 21 tahun atau sudah menikah tetapi tetap dianggap tidak cakap karena berada dibawah pengampuan, misalnya karena gila, atau bahkan karena boros.
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek tertentu.
Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Kata halal disini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram dalam hukum islam, tetapi yang dimaksudkan disini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.[3]

2.     Menurut KHES dalam pasal 22 sebagai berikut :
Rukun  akad terdiri atas :
a.        Pihak-pihak yang berakad;
b.       Obyek akad;
c.        Tujuan pokok akad; dan
d.       Kesepakatan.
Didalam pasal 23 KHES pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memilki kecakapan dalam melakuakan perbuatan hukum. Di dalam pasal 24 KHES yang dimaksud dengan obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Dan didalam pasal 25 KHES akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.

C.    Macam-macam Perikatan
1.     Menurut Hukum Perdata (BW)
Bentuk perikatan paling sederhana ialah suatu perikatan yang terdiri hanya dua pihak saja dan hanya mengenai satu prestasi yang seketika itu juga dapat ditagih pembayarannya. Macam-macam perikatan pada umumnya ialah sebagai berikut:
a.      Perikatan Bersyarat (Voorwaardeijk)
Dalam KUH Perdata pasal 1253 Perikatan bersyarat yaitu suatu perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa atau keadaan tertentu yang belum pasti terjadi. Bentuk-bentuknya:
1.   Menangguhkan (opschortende voorwaarde), maksudnya ialah perikatan yang menggantungkan pada suatu syarat menangguhkan, dimana perikatan itu barulah dilahirkan apabila kejadian atau keadaan yang belum pasti itu timbul atau terjadi.
2.   Membatalkan (ontbindende voorwaarde), maksudnya ialah perikatan yang menggantungkan pada suatu syarat yang membatalkan, di mana suatu perikatan yang sudah seketika akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum pasti itu terjadi atau timbul.[4]
b.     Perikatan ketetapan waktu (tidjbepaling)
Yaitu suatu perikatan yang pelaksanaannya didasarkan atas ketetapan waktu yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak.
c.      Perikatan yang membolehkan memilih (alternative)
Perikatan ini adalah suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
d.     Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair )
Perikatan ini adalah dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan seperti ini sedikit sekali di dalam praktek.
e.      Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
Apakah suatu perikatan dapat  dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan atau tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Yang mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digntikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.[5]
f.      Perikatan dengan ancaman hukuman
Perikatan semacam ini, adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak terpenuhi. Penetapan hukum ini dimaksudkan sebagai gantinya penggantian kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud:
1.   Untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya.
2.   Untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlah atau besarnya kerugian yang dideritanya. Sebab, berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang.[6]

2. Menurut Hukum Islam (KHES)
Di dalam pasal 27 KHES akad terbagi dalam tiga kategori:
a.      Akad yang sah (shahih) adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad.
b.     Akad yang fasad / dapat dibatalkan (tidak shahih), adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat.
c.      Akad yang batal atau batal demi hukum, adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya.

D.    Asas-Asas Perikatan
1.     Menurut Hukum Perdata (BW)
a.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dalam KUH Perdata, yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1)     Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2)     Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3)     Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
4)     Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis maupun lisan.
b.     Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diaadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
c.      Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanijian. Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.
d.     Asas Iktikad Baik ( Goede Trouw)
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan subtansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1)     Iktikad baik nisbi, pada iktikad baik ini orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.
2)     Iktikad baik mutlak, pada iktikad baik mutlak penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
e.      Asas Kepribadian (personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 berbunyi: “perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.[7]

2.     Menurut Hukum Islam (KHES)
Dalam pasal 21 KHES disebutkan ada beberapa asas-asas akad, yaitu:


  1. Ikhtiyari atau sukarela: setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
  2. Amanah atau menepati janji: setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.
  3.  Ikhtiyati atau kehati-hatian: setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.
  4.  Luzum atau tidak berobah: setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.
  5.  Saling menguntungkan: setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.
  6.  Taswiyah atau kesetaraan: para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
  7.   Transparansi: setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.
  8.   Kemampuan: setiap akad dilakukan sesuai dengankemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
  9.  Taisir atau kemudahan: setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.
  10.   Iktikad baik: akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
  11.  Sebab yang halal: tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.[8]

E.    Sumber-sumber Hukum Perikatan
Menurut Hukum Perdata (BW)
 Menurut Hukum Perdata (BW), perikatan timbul karena:
  1. Undang-Undang (Pasal 1352 BW) 
  2. Perjanjian (Pasal 1313 BW)

F.     Perikatan-perikatan Yang Lahir Dari Undang-undang
Sebagaimana yang diterangkan suatu perikatan dapat lahir dari undang-undang atau dari persetujuan. Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi atas:
1.     Yang lahir dari undang-undang saja, maksudnya adalah perikatan-perikatan yang lahir oleh hubungan kekeluargaan. Jadi yang terdapat dalanm buku I B.W., misalnya kewajiban seorang anak yang mampu untuk memberikan nafkah pada orang tuanya yang berada dalam keadaan kemiskinan.
2.     Yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang, sedangkan perbuatan orang ini dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan, atau yang melanggar hukum (onrech tmatig). Maksud dari perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan yang diperbolehkan adalah pertama timbul jika seorang melakukan suatu “ pembayaran yang tidak diwajibkan”. (pasal 1359). Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan suatu perikatan, yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar itu untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban di pihak lain untuk mengembalikan pembayaran-pembayaran itu.
Suatu perikatan lagi yang lahir dari undang-undang karena perbuatan yang di perbolehkan ialah yang dinamakan “Zaak waar naming “ (Pasal 1354). Ini terjadi jika seseorang dengan sukarela dan dengan tidak diminta, mengurus kepentingan orang lain.
Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang yang melanggar hukum, diatur dalam pasal 1365 BW. Pasal ini menetapkan, bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum (onrech tmatige daad) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karean kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu.

G.   Hapusnya Perikatan-perikatan
Di dalam undang-undang menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan :
1.     Karena pembayaran
Yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan pembayaran ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi, jadi perkataan pembayaran itu ileh undang-undang tidak melulu ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian, dinamakan pembayaran.
2.     Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat,
Maksudnya ialah seseorang berhutang (debitur) telah melakukan pembayaran namun si berpiutamg (kreditur) menolak menerima pembayaran tersebut, maka menitipkan uang  atau barangnya ke Pengadilan.
3.     Pembaharuan hutang (Novasi)
Novasi ialah suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru.
4.     Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
Jika dua orang saling berutang maka terjadilah antara mereka suatu konpensasi dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.
5.     Percampuran hutang
Yaitu dalam hal menyangkut kedudukan para pihak. Percampuran hutang terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan. Misalnya si A sebagai ahli waris  memiliki hutang kepada si B sebagai pewaris. Apabila si B meninggal maka ahli waris A menerima warisan termasuk pula utang atas dirinya sendiri.
6.     Pembebasan hutang
7.     Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
8.     Pembatalan perjanjian.[10]

Menurut Hukum Islam (KHES)
Di dalam pasal 32 menjelaskan bahwasanya yang menyebabkan batalnya suatu akad adalah :
a.      Pemaksa mampu untuk melaksanakannya
b.     Pihak yang dipaksa memiliki persangkaat kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan apa yang akan diancamkannya apabila tidak mematuhi perintah pemaksa tersebut
c.      Yang diancamkan menekan berat jiwa orang yang diancam. Hal ini tergantung kepada orang perorang
d.     Ancaman akan dilaksanakan secara serta merta
e.      Paksaan bersifat melawan hukum
Dan di dalam pasal 34 KHES dijelaskan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan suatu akad.


[1] Kamarusdiana dan Zainal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN JKT Press, 2007) hlm.99
[2] Perma No.2 Tahun 2008, Tentang KHES
[3] Miru Ahmadi dan Pati Sakka, Hukum Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hlm.67
[4] Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIn Jakarta Press, 2007) hlm. 101
[5] Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm. 130
[6] Prof. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa 2001) hlm. 11
[7]  H.S Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hlm. 9
[8] Perma Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
[9] Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007) hlm. 104
[10] Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm. 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar