Kamis, 16 April 2015

SEJARAH DAN KONSEPSI HUKUM TANAH NASIONAL (UUPA)



A.    Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria

Upaya Pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria Nasional yang akan menggantikan Hukum Agraria kolonial sudah dimulai sejak tahun 1948 dengan membentuk kepanitian yang diberi tugas menyusun Undang-Undang Agraria[1]. Tahapan-tahapan dalam penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.     Panitia Agraria Yogya
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948  tanggal 21 mei 1948 berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, kepala bagian Agraria Kementrian Dalam Negeri.
Panitia ini mengusulkan tentang asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu[2]:
a.      Meniadakan asas Domein dan pengakuan hak ulayat.
b.     Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
c.      Mengadakan penyelidikan lebih dahulu di negara-negara tetangga sebelum menentukan apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
d.     Mengadakan penetapan luas minimum tanah agar petani kecil dapat hidup layak.
e.      Mengadakan penetapan luas maksimum pemilik tanah dengan tidak memandang macam tanahnya.
f.      Menganjurkan penerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan Panitia Agraria Yogya.
g.     Mengadakan pendaftaran tanah hak milik dan tanah-tanah menumpang yang penting.



  1. Panitia Agraria Jakarta
Panitia Agraria Yogya dibubarkan dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dibentuk Panitia Agraria Jakarta Yang berkedudukan di Jakarta diketuai oleh Singgih Praptodihardjo, Wakil Kepala Bagian Agraria Kementrian Dalam Negeri.
Panitia ini mengemukakan usulan mengenai tanah untuk pertanian rakyat (kecil), yaitu[3]:
  1. Mengadakan batas minimum pemilik tanah, yaitu 2 hektar dengan mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris.
  2. Ditentukan pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga.
  3. Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga Negara Indonesia. Tidak diadakan perbedaan antara warga Negara asli dan bukan asli. Badan Hukum tidak diberi kesempatan untuk mengerjakan pertanian kecil.
  4. Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum:  hak milik, hak usaha, hak sewa dan hak pakai.
  5. Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan pokok-pokok dasar Negara.

  1. Panitia Soewahjo
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1  Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria berkedudukan di Jakarta yang diketuai Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria.
Panitia ini menghasilkan naskah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang berisi[4]:
  1. Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentingan umum (negara).
  2. Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan Pasal 38 ayat 3 UUDS 1950.
  3. Dualisme Hukum Agraria dihapuskan.
  4. Hak-hak atas tanah: hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
  5. Hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara Indonesia yang tidak diadakan perbedaan antara warga negara asli dan tidak asli.
  6. Perlu diadakan penetapan batas maksimun dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum.
  7. Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
  8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan pengguanaan tanah.

  1. Rancangan Soenarjo
Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan Panitia Soewahjo oleh Menteri Agraria Soenarjo diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 maret 1958. Dewan Menteri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958 dapat menyetujui rancangan Soenarjo dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui amanat presiden Soekarno tanggal 24 April 1958.
Dalam pembahasan Rancangan Soenarjo, DPR mengharap perlu untuk mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Selanjutnya Panitia Permusyawaratan DPR membentuk sebuah Panitia Ad Hoc dengan tugas[5]:
  1. Membahas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria secara tekhnik yuridis.
  2. Mempelajari bahan-bahan yang bersangkutan dengan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan bahan-bahan yang baru.
  3. Menyampaikan laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta usul-usul yang dipandang perlu mengenai Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria kepada Panitia Permusyawaratan DPR.

  1. Rancangan Sadjarwo
Berhubung dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka Rancangan Soenarjo yang masih memakai UUDS ditarik kembali dengan surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960.
            Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan Manifesto Politik, dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukan RUUPA yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo yang selanjutnya disebut “Rancangan Sadjarwo”. Rancangan Sadjarwo  tersebut disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya tgl. 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet Pleno tgl. 1 Agustus 1960. Dengan amanat Presiden tgl. 1 Agustus 1960 No. 2584/HK/1960.
Rancangan tersebut diajukan ke DPRGR. Pembahasan di DPR GR yang diketuai oleh H. Zainul Arifin dalam sidang Pleno tgl. 12 September 1960 dan pada tagl. 14 September telah mendapat persetujuan suara bulat dari DPRGR. Selanjutnya pada tgl 24 September 1960 disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi UUPA No. 5 Th. 1960  Selanjtunya UUPA tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Th. 1960 No.104 dan Penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043.
B.    Pembangunan Hukum Tanah Nasional
            Pembangunan hukum tanah nasional secara yuridis formal menjadikan hukum adat sebagai sumber utama, sehingga segala bahan yang dibutuhkan dalam pembangunan hukum tanah nasional sumbernya tetap mengacu kepada hukum adat, baik berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya. Konsepsi, asas-asas, dan lembaga-lembaga hukumnya tersebut merupakan masukan bagi rumusan yang akan diangkat menjadi norma-norma hukum tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat[6].
            Konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional adalah konsepsi hukum tanah adat, seperti yang bersifat komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Dan keterkaitan sifat komunalistik religious dari konsepsi hukum tanah nasional diatur dalam pasal 1 ayat 2, yang berbunyi sebagai berikut[7]:
Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagaikarunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa indonesia dan merupakan kekayaan nasional.


C.    Fungsi dan Tujuan UUPA dan Hubungannya dengan Hukum Adat

v Fungsi dan Tujuan UUPA
a.    Menghapus dualisme hukum tanah yang lama, dan menciptakan unifikasi serta kodifikasi Hukum Tanah Nasional yang didasarkan pada Hukum Tanah Adat, yakni mencabut :
1)   Seluruh pasal 51 IS yang didalamnya termasuk juga ayat-ayat yang merupakan Agrarische Wet (Stbl. 1870-55)
2)   Semua Domeinverklaring dari Pemerintah Belanda, baik yang umum maupun yang khusus
3)   Pengaturan mengenai Agrarische Eigendom yang dituangkan ke dalam Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 N. 29 (Stbl. 1872-117 jo. Stbl. 1873-38)
4)   Buku Kedua KUH Per, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik

b.   Mengadakan unifikasi hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah melalui ketentuan konversi.
1)   Tanah-tanah hak barat maupun tanah hak Indonesia mulai tgl 24-9-1960 dikonversi menjadi hak-hak menurut UUPA
2)   Hak- hak jaminan atas tanah, yakni hipotek & crediet verband diubah menjadi hak tanggungan atas tanah berdasarakn UU No. 4 Th. 1996 dan UU No. 12 Th. 1999[8].
c.    Meletakkan landasan hukum untuk pembangunan Hukum Tanah Nasional.

v Hubungan dengan hukum Adat
a.    Secara formal, bahwa UUPA tersebut :
·     Dibuat di Indonesia
·     Dalam bahasa Indonesia
·     Berlaku di seluruh Indonesia.
b.   Secara Material, bahwa UUPA tersebut :
·     Isinya merupakan perwujudan dari Pancasila
·     Disusun dengan menggunakan hukum adat.
Jadi apabila dilihat dari segi materinya, maka hubungan fungsional tersebut dapat kita jumpai pada :
a.    Konsiderans, bahwa perlu adanya hukum Agraria Nasional berdasarkan hukum adat tentang tanah.
b.   Bahwa hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat (Pasal 5 UUPA)
c.    Penjelasan umum menyatakan bahwa hukum agraria yang baru didasarkan pada ketentuan hukum adat sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat.[9]
Dalam penjelasan umum terdapat istilah Hukum Adat sebagai hukum yang asli, hal mana ditekankan karena Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulispun masih dipengaruhi atau dimasuki oleh unsur-unsur dari luar, misalnya pengaruh hukum kolonial, swapraja dan sebagainya.
Hukum Adat yang manakah yang dimaksudkan oleh UUPA, Menurut pengertian Hukum Adat dari para sarjana antara lain:
1.     Van Vollen Hoven: membedakan adanya ”hukum adat golongan pribumi” dan hukum adat golongan timur asing.
2.     Kusumadi Pudjosewojo:  ”hukum adat” adalah keseluruhan peraturan hukum yang tidak tertulis. Hukum Adat dalam pengertian ini bukan merupakan lapangan hukum tersendiri disamping lapangan-lapangan hukum yang ada.
Hukum Adat yang dimaksud UUPA adalah :
a.   Secara Formal: Bagian dari hukum positif Indonesia yang berlaku sebagai hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis di kalangan orang-orang Indonesia asli yang mengandung ciri-ciri nasional.
b.   Secara Material: Sifat kemasyarakatan yang berdasarkan keseimbangan dan diliputi suasana keagamaan.


D.    Konsepsi-Konsepsi Tentang Hukum Tanah      
Sebelum UUPA berlaku, dikenal adanya Hukum Tanah Adat yang  menggunakan  konsepsi Hukum Adat dan pula Hukum Tanah Barat.
1)  Konsepsi Hukum Tanah Barat
a)   Konsepsi Hukum Tanah Barat bertitik tolak dari konsepsi yang liberal invidualistis, bahwa tanah (bumi) diciptakan Tuhan diperuntukan bagi kesejahteraan umat manusia. Pada mulanya tanah-tanah dimuka bumi belum ada yang memiliki (res nullius). Oleh karena itu, tanah dapat diduduki (occupatie) dan dimanfaatkan oleh siapa saja yang memerlukannya. Dengan menduduki atau menguasai tanah tersebut, jadilah ia selaku pemiliknya, dan menjadikan sebagai hubungan hukum yang disebut Hak Eigendom.
Jadi sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah Barat, semua tanah dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu : tanah-tanah hak eigendom dan tanah-tanah domein negara.
b)     Konsepsi Hukum Tanah Feodal
Selain konsepsi Hukum Tanah Barat yang liberal idividualistis dalam Hukum Tanah Barat dikenal pula Hukum Tanah Feodal, misalnya yang berlaku di Inggris dan negeri-negeri jajahan. Demikian juga pernah kita jumpai di Indonesia (sebelum UUPA) pada tanah-tanah swapraja yang tunduk pada Hukum Tanah Swapraja. Menurut konsepsi tanah feodal, semua tanah hak milik adalah tanah raja, sedangkan rakyat hanya dapat diberikan Hak Pakai atau Hak Sewa.

2)     Konsepsi Hukum Tanah Adat/ Nasional
Setelah kita memahami konsepsi liberal invidualistis dan konsepsi feodal, jelas bahwa kedua macam  konsepsi tersebut tidak cocok dengan struktur masyarakat dan nilai-nilai yang berlaku di alam Indonesia merdeka.
Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum tersebut, maka pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, bawa ” Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dalam sistem Hukum Adat, Hak Ulayat merupakan hak tertinggi dalam masyarakat hukum adat atas seluruh lingkungan tanah yang berada di wilayah masyarakat hukumnya. Penggunaan tanah oleh warga masyarakat hukum adat yang dilandasi berbagai hak penguasaan atas tanah tersebut, selalu bersumber pada hak bersama tersebut yang disebut Hak Ulayat.
Negara merupakan organisasi kekuasaan seluruh bangsa atau wadah dari bangsa Indonesia untuk melaksanakan apa yang menjadi kehendak bangsa Indonesia itu sendiri. Jadi, negara hanya merupakan hak menguasai dan bukan memiliki tanah. Hak menguasai dari negara itu adalah tugas kewenangan yang dilimpahkan oleh bangsa Indonesia kepada negara untuk :
a. Mengatur penguasaan dan penggunaan tanah melalui peraturan-perundangan
b. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah
c. Memelihara tanah .
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa Tanah Negara adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, sedangkan yang dimaksud dengan Tanah Hak adalah semua tanah-tanah yang sudah dikuasai oleh seseorang dengan suatu hak. Jadi di dalam sistem dan konsepsi Hukum Tanah di Indonesia tidak dikenal ”res nullius” seperti dalam Hukum Tanah Barat. Dalam pasal 520 BW dikatakan bahwa bilamana tanah yang tidak ada pemiliknya , harus diletakkan dibawah pengampuan Balai Harta Peninggalan dan menjadi tanah Domein Negara[10].


KESIMPULAN

            Sejarah Penyusunan UUPA sudah dimulai sejak tahun 1948 dengan dibentuknya kepanitian yang diberi tugas merancang dan menyusun Undang-Undang Agraria. Setelah mengalami beberapa penggantian kepanitian yang berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu rangkaian proses yang cukup panjang, maka baru pada tanggal 24 September 1960 Pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria Nasional, yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
           
            Tujuan UUPA:
1)  Menghapus dualisme hukum tanah yang lama
2)  Mengadakan unifikasi hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah melalui ketentuan konversi.
3)  Meletakkan landasan hukum untuk pembangunan Hukum Tanah Nasional.

Hubungan dengan hukum Adat
Secara formal, bahwa UUPA tersebut :
·     Dibuat di Indonesia
·     Dalam bahasa Indonesia
·     Berlaku di seluruh Indonesia.
Secara Material, bahwa UUPA tersebut:
·     Isinya merupakan perwujudan dari Pancasila
·     Disusun dengan menggunakan hukum adat.

Konsepsi-konsepsi tentang hukum tanah
·       Konsepsi Hukum Tanah Barat
·       Konsepsi Hukum Tanah Adat/ Nasional


DAFTAR PUSTAKA


Harsono, boedi, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan   Pelaksanaaannya (Jilid I : Hukum Tanah Nasional), Djambatan (Jakarta : 1997)
Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana (Jakarta : 2010)
Suardi.Hukum Agraria.Jakarta: Badan Penerbit IBLAM.2005
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, cet. 3 (Jakarta: 2009)



[1] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana (Jakarta : 2010), hal. 46.
[2] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan   Pelaksanaaannya (Jilid I : Hukum Tanah Nasional), Djambatan (Jakarta : 1997), hal.122
[3] Ibid, 124
[4] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana (Jakarta : 2010), hal. 48.
[5] Ibid, hal. 49.
[6] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, cet. 3 (Jakarta: 2009), hal. 53
[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan   Pelaksanaaannya (Jilid I : Hukum Tanah Nasional), Djambatan (Jakarta : 1997), hal. 191
[8] Urip Santoso.HUKUM AGRARIA DAN HAK-HAK ATAS TANAH cet-4.Jakarta: Kencana.2008 hlmn 55
[9] Suardi.Hukum Agraria.Jakarta: Badan Penerbit IBLAM.2005 hlmn 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar